Selasa, 29 Maret 2011

Kepedihan Kelabu

Hidup ini terasa kelabu
Gelap, tak ada satu pun lampu
Yang mampu menerangi hidupku
Tak pernah kudapat kebahagiaan
Yang selalu saja datang menghampiriku

Mungkin, kbahagiaan bagiku hanyalah mimpi
Yang tak akan pernah kualami
Ya Allah, mengapa samua ini harus kualami
Derita ini terlalu pedih menyanyat hati
Setiap kali peristiwa ini terjadi
Hati ini sangat pedih
Pedih dan perih

Hanya air mata yang dapat bicara
Mulut ini tak berarti apa-apa
Tak berani mengucap kata-kata
Ingin aku melimpahkannya, menceritakannya
Tapi kepada siapa?

Ingin aku menangis, menjerit
Hingga semua kepenatan di hati hilang
Dan kepedihan kelabu berlalu



Oleh: Novi Anik Lestari
Baca selengkapnya »

Jumat, 25 Maret 2011

Chairil Anwar


Chairil Anwar (lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922 – meninggal di Jakarta, 28 April 1949 pada umur 26 tahun) atau dikenal sebagai "Si Binatang Jalang" (dalam karyanya berjudul Aku [2]) adalah penyair terkemuka Indonesia. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 dan puisi modern Indonesia.

Masa kecil
Dilahirkan di Medan, Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, mantan bupati Indragiri Riau, berasal dari nagari Taeh Baruah, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Sedangkan dari pihak ibunya, Saleha yang berasal dari nagari Situjuh, Limapuluh Kota dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia.

Chairil masuk sekolah Holland Indische school (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu penjajah Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, sekolah menengah pertama belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak satupun puisi awalnya yang ditemukan.

Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan dengan dunia sastera. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya dengan membaca pengarang internasional ternama, seperti: Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.

Masa Dewasa
Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastera setelah pemuatan tulisannya di "Majalah Nisan" pada tahun 1942, pada saat itu dia baru berusia dua puluh tahun. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian.Chairil ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya.

Semua tulisannya yang asli, modifikasi, atau yang diduga diciplak dikompilasi dalam tiga buku : Deru Campur Debu (1949); Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949); dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).

Akhir Hidup
Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya, yang bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang semrawut. Sebelum dia bisa menginjak usia dua puluh tujuh tahun, dia sudah kena sejumlah penyakit. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC,Dia dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.
Baca selengkapnya »

Kata Teman

Saat itu aku bagaikan kerbau yang dicancang di tengah padang pasir yang panas. Tak ada satu pun rumput yang tumbuh di antara kerbau itu berada. Siang hari yang panas terika matahari membakar kulit cokelatnya yang berbulu. Saat itulah situasi yang sangat menakutkan baginya. Berteriak dengan bahasa kerbau hingga suaranya semakin lama semakin menghilang.Tak ada satupun yang bisa dimintai bantuan kecuali kepada penciptanya. Dengan kondisi seperti itulah sang kerbau akan bersedia memberikan apa saja bagi siapa saja yang membantunya untuk melepaskan. Jika yang membatunya adalah segerombolah badai yang mampu mengoyak tali yang mengikatnya maka sang kerbau akan mengikuti perintah gerombolan bagai itu. Jika yang memerdekakannya adalah sekawanan burung jalak, maka sang kerbau merelakan tubunya dicocok olehnya, bahkan sampai ajal menjemputnya maka dia bersedia.
Saat itu sang kerbau tidak sempat memikirkan jika yang menolongnya adalah seseorang. Dari jauh sang kerbau melihat bayangan yang semakin lama semakin mendekat. Oh, ternyata saat itu ada sekelompok orang yang datang. Senanglah hati sang kerbau karena ada harapan untuk lepas dari bayangan malaikat maut yang mengancamnya.
Baca selengkapnya »

 
Powered by Blogger