Selasa, 21 Juni 2011

Sapardi Djoko Damono

Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (lahir di Surakarta, 20 Maret 1940; umur 71 tahun) adalah seorang pujangga Indonesia terkemuka. Ia dikenal dari berbagai puisi-puisi yang menggunakan kata-kata sederhana, sehingga beberapa di antaranya sangat populer.

Riwayat Hidup
Masa mudanya dihabiskan di Surakarta (lulus SMP Negeri 2 Surakarta tahun 1955 dan SMA Negeri 2 Surakarta tahun 1958). Pada masa ini ia sudah menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah. Kesukaannya menulis ini berkembang saat ia menempuh kuliah di bidang Bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sejak tahun 1974 ia mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, namun kini telah pensiun. Ia pernah menjadi dekan di sana dan juga menjadi guru besar. Pada masa tersebut ia juga menjadi redaktur pada majalah "Horison", "Basis", dan "Kalam".

Sapardi Djoko Damono banyak menerima penghargaan. Pada tahun 1986 SDD mendapatkan anugerah SEA Write Award. Ia juga penerima Penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003. Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan Lontar.

Ia menikah dengan Wardiningsih dan dikaruniai seorang putra dan seorang putri.

Karya-karya
Sajak-sajak SDD, begitu ia sering dijuluki, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa daerah. Ia tidak saja menulis puisi, namun juga cerita pendek. Selain itu, ia juga menerjemahkan berbagai karya penulis asing, menulis esei, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola.

Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti Aku Ingin (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari. Kepopuleran puisi-puisi ini sebagian disebabkan musikalisasi terhadapnya. Yang terkenal terutama adalah oleh Reda Gaudiamo dan Tatyana (tergabung dalam duet "Dua Ibu"). Ananda Sukarlan pada tahun 2007 juga melakukan interpretasi atas beberapa karya SDD.

Musikalisasi Puisi
Musikalisasi puisi karya SDD dimulai pada tahun 1987 ketika beberapa mahasiswanya membantu program Pusat Bahasa, membuat musikalisasi puisi karya beberapa penyair Indonesia, dalam upaya mengapresiasikan sastra kepada siswa SLTA. Saat itulah tercipta musikalisasi Aku Ingin oleh Ags. Arya Dipayana dan Hujan Bulan Juni oleh H. Umar Muslim. Kelak, Aku Ingin diaransemen ulang oleh Dwiki Dharmawan dan menjadi bagian dari "Soundtrack Cinta dalam Sepotong Roti" (1991), dibawakan oleh Ratna Octaviani.

Beberapa tahun kemudian lahirlah album "Hujan Bulan Juni" (1990) yang seluruhnya merupakan musikalisasi dari sajak-sajak Sapardi Djoko Damono. Duet Reda Gaudiamo dan Ari Malibu merupakan salah satu dari sejumlah penyanyi lain, yang adalah mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Album "Hujan Dalam Komposisi" menyusul dirilis pada tahun 1996 dari komunitas yang sama.

Sebagai tindak lanjut atas banyaknya permintaan, album "Gadis Kecil" (2006) diprakarsai oleh duet Dua Ibu, yang terdiri dari Reda Gaudiamo dan Tatyana dirilis, dilanjutkan oleh album "Becoming Dew" (2007) dari duet Reda dan Ari Malibu.

Ananda Sukarlan pada Tahun Baru 2008 juga mengadakan konser kantata "Ars Amatoria" yang berisi interpretasinya atas puisi-puisi SDD serta karya beberapa penyair lain.
Baca selengkapnya »

Senin, 20 Juni 2011

Aku Ingin SDD

Baca selengkapnya »

Tak Selamanya

Indahnya mentari
tak selamanya bersinar
Indahnya rembulan
tak selamanya menerangi malam

Indahnya pelangi
tak selamanya memberi warna dalam hidup
Rintikan hujan pun
tak selamanya menahan di satu tempat

Indahnya cinta
tak selamanya merasa bahagia
Indahnya kasih sayang
terkadang menyisakan luka

Tapi indahnya persahapatan
kan selamanya bermakna dan kekal abadi


Karya: Dian Choerun Nisa
Baca selengkapnya »

Jumat, 10 Juni 2011

Penghuni Rumah Kuno

Hari ini hari pertama aku dan keluargaku menempati rumah baru, yang sebenarnya adalah rumah tua yang mirip seperti bangunan model rumah kuno, bahkan segala segala macam isinya pun merupakan peninggalan zaman kuno. Kami hanya bawa sedikit barang dari tempat tinggal yang dulu karena kata ayah, di rumah yang baru sudah tersedia perabot rumah lengkap. Rumah model kuno ini memiliki halaman yang luas di depan maupun di belakang yang di tumbuhi rumput-rumput lebat. Pohon-pohon berumuran puluhan tahun pun ikut menghiasi rumah kuno ini. Tumbuh menjulang dengan akar-akar besar yang muncul di permukaan tanah. Cat dinding rumah ini sudah mulai mengelupas. Lantainya pun tertutup oleh debu. Benar-benar sudah lama tak terawat.

Semua bermula saat Ayah dipindahtugaskan untuk dinas di kota ini. Terpaksa ibu, aku, dan Rama adik laki-lakiku ikut pindah juga.

Ah….capek rasanya setelah seharian membereskan kamarku. Aku lihat jam di atas meja belajarku. Waktu menunjukan pukul 23.30 WIB. Rumah sudah sepi bahkan bunyi televisi yang beberapa waktu lalu terdengar sekarang tak terdengar lagi. Mungkin semua sudah tidur di kamar masing-masing.

“Kenapa aku tidak bisa tidur juga?“ aku bergumam sendiri sambil membalikan tubuhku menatap jendela. Udara malam semakin dingin. Aku menaikan selimut sampai ke leher. Baru saja mata terpejam tiba-tiba aku terbangun kembali mendengar suara ketukan pintu kamarku. Perlahan aku beranjak dari tempat tidur, berjalan sedikit terhuyung karena belum sepenuhnya tersadar dari kantukku. Sekilas aku melirik jam di meja belajarku yang menunjukkan pukul 00.00WIB.

“Siapa?“ suaraku sedikit serak. Tak ada jawaban. Perlahan kubuka pintu tua itu yang menimbulkan suara gemeretak. Di luar tak ada siapa-siapa .

“Aneh, lalu tadi siapa?“ ketika pintunya aku tutup, tiba-tiba sekelebat bayangan hitam melewati depan pintu kamarku. Aku berjingkat ke luar untuk melihat siapa yang ada di luar.

“Siapa ya? Hei tunggu!” langkahnya malah semakin cepat
“Duh ke mana sih? Kok ngilang?“ tiba-tiba aku mendengar suara pintu dibuka, bayangan tadi masuk ke ruangan itu. Di ujung dapur ada sebuah pintu. Aku belum begitu tau tentang ruangan-ruangan di rumah ini, mungkin itu adalah sebuah gudang.

Perlahan kubuka pintu itu. Ternyata ada sebuah lorong. Di sana gelap, tak ada cahaya. Aku berjalan dengan hati-hati, berusaha supaya tak menabrak sesuatu. Aku meraba-raba dinding, barang kali ada saklar di sekitar sini. Hasilnya nihil, tetapi mataku mulai terbiasa dengan gelap. Walaupun tak sepenuhnya bisa melihat dengan jelas, paling tidak aku bisa melihat keadaan di sekitarku dalam remang-remang.

“Rara…..” aku tersentak ketika mendengar namaku dipanggil dan menyadari itu bukan suara Rama, ayah, ataupun ibu.

“S..sss..ssiapa?“ bulu kudukku mulai berdiri. Udara di sini tiba-tiba menjadi dingin. Kaca-kaca bergetar dan tikut-tikus menjadi ribut bercicit-cicit seolah-olah ada suatu bahaya yang datang.

“Jangan-jangan itu……” aku tak melanjutkan kata-kata ketika kudengar suara berdebum di belakangku.

Aku berbalik menghadap pintu. Hanya berjarak beberapa meter di depanku berdiri sesosok gadis cantik yang sangat familiar. Gadis itu sebaya denganku. Sulit dipercaya, mungkin ini hanya mimpi. Tapi itu benar-benar nyata. Dia benar-benar mirip denganku. Rambut ikalnya, tingginya, bahkan wajahnya. Hanya saja dia terlihat pucat. Dia mengenakan gaun panjang warna putih seperti jubah. Rambut hitam panjang, kulit pucat dipadukan dengan gaun putih memang menyeramkan bila di bayangkan.

Kurasakan keringat dingin bercucuran didahiku. Ya. Aku ketakutan. Aku berusaha untuk berlari, tapi tak bisa. Seperti ada yang mengunci kakiku.

Tiba- tiba kurasakan sentuhan dingin di leherku. Kencang dan semakin kencang. Ada yang mencekikku. Kerongkonganku mulai mengering. Aku tak bisa berteriak.

“T..tt..toolongg!!” suaraku tak cukup didengar oleh orang lain. Tiba-tiba tangan itu membenturkan aku ke tembok. Lagi…lagi…dan lagi…hingga bisa kurasakan darah segar mengalir di keningku. Sementara aku kesakitan, gadis itu tertawa. Tawanya menggelegar memekakkan telinga. Aku mulai kehabisan oksigen. Dan akhirnya aku mencoba untuk memejamkan mata.

Sekarang hening. Tawa itu sudah tak ada. Nafasku pun kembali normal, bahkan aku sudah tidak merasakan sakit lagi. Pelan-pelan aku membuka mata, mengamati sekeliling yang masih gelap. Dia ada di sebelahku.

“Hai, Jangan takut. Aku hanya ingin menjadi teman.”
“Sssiapa kamu?”
“Aku seorang teman, nama kamu Rara kan?”
“Tau dari mana?”
“Ha..ha..ha..tentu aku tahu setiap penghuni rumah ini. Bukankah aku pemilik rumah ini?”
“Tetapi bukankah kata Ayah pemilik rumah ini sudah pindah?”
“Ya, memang. Mereka sudah pindah tetapi aku ditinggal sendiri di sini.”
“Mereka? Ayah dan ibumu?”
“Oh bukan, tapi ibu dan saudara tiriku.”
“Lalu orang tua kandungmu ke mana?”
“Ibuku meninggal ketika aku berumur tujuh tahun, dan lima tahun setelah itu ayah menikah lagi dengan seorang janda beranak satu. Tentu saja mereka jahat kepadaku. Mereka selalu menyiksaku ketika ayah kerja dan berpura-pura baik ketika ayah di rumah.”
“Lalu di mana ayahmu?”
“Waktu itu ayah memergoki ketika aku disiksa, dan….”
“Dan apa?”
“Dan mereka membunuh ayahku.”
“Oh, kejam sekali. Apa kamu tidak melapor ke polisi?”
“Setelah kematian ayahku mereka mengunciku di sini, tentu saja aku tidak bisa ke mana dan mereka menjual rumah ini.”
“Lalu bagaimana kau bisa keluar? Siapa yang menolongmu?” Dia tak menjawab pertanyaanku. Malah tersenyum lebar menyeringai.
“Ayo ikut aku.”
“Ke mana?”
“Akan aku tunjukkan sesuatu.”

Dia mengajakku menelusuri sepanjang lorong. Aku mengikutinya dari belakang. Tapi anehnya sekarang aku tidak punya rasa takut, malah bersemangat dengan apa yang ditunjukkannya padaku. Dia membawaku ke sebuah ruangan kecil. Di sana ada sebuah perapian. Di sudut ruangan terdapat banyak tumpukan kardus bekas. Dan di pojok sana ada sebuah kursi goyang. Dia menunjukkan lukisan-lukisan yang terpajang di dindng, memperlihatkan foto ayah dan ibu kandungnya.

“Silahkan, duduklah!” dia mempersilahkanku duduk di samping kursi goyangnya dan aku merasa nyaman dengan keramahannya.
“Terima kasih”
“Ha..ha..ha..” baru saja aku berpikir dia orang yang baik, dia malah kembali tertawa seperti waktu di lorong tadi. Aku kembali ketakutan.
“Apanya yang lucu?” aku bertanya, berusaha bersikap polos dan tidak memperlihatkan kegugupanku.
“Di tempat ini aku mati.”
“Mm…m..maksudnya?”

Dia mengalihkan pandangan ke sudut ruangan dan aku mengukuti arah matanya. Astaga itu adalah tulang belulang manusia dan ada sebuah boneka di sampingnya.

“ Aaa…apa itu?”
Dia melirikku dan menatapku dengan tatapan ingin membunuh. Aku tak berani untuk melihat wajahnya. Maka kulihat saja tulang-tulang itu.
“Itu aku, Rara. Mereka mengurungku sampai mati.”
“Kamu?”
“Ya, aku memang hantu. Dan sekarang aku tak sendiri lagi. Aku sudah mendapatkanmu teman. Tinggalah bersamaku di sini.”
“Enggak, aku mau pergi. Aku akan minta ayah untuk pergi dari rumah ini malam ini juga.”
“Ha..ha..ha..”
Dia kembali tertawa, dan membuat kaca bergetar. Aku benar-benar ketakutan. Aku ingin berdiri tapi tak bisa. Tiba-tiba sekujur tubuhku menjadi kaku. Aku tidak bisa apa-apa, kucoba untuk membaca doa sebisaku.

Oh Tuhan dia berubah menjadi hantu, seperti monster. Dia menyeramkan. Dia tak lagi terlihat cantik seperti tadi. Darah-darah mulai bercucuran dari mata, hidung, dan telinganya. Kulitnya mengelupas bau busuk pun menyengat. Tawanya semakin menggelegar. Aku menjerit.

“ Tidaaaaaaaaaaaaak!!!”

Tubuhku mulai meregang. Yah…sekarang aku bisa lari. Aku tak buang-buang waktu berusaha lari sekencang mungkin. Tawanya masih terdengar di lorong. Telingaku sakit berdenging, pintu keluar sudah terlihat. Aku hanya tinggal lari beberapa langkah dan aku akan selamat. Ya…setidaknya itu harapanku.

Aku meraskan tubuhku berguncang ketika akhirnya sampai di pintu. Kukunci pintu itu rapat-rapat. Aku merasakan lega yang sangat dahsyat. Jantungku masih terpacu sangat cepat dan nafasku tersengal-sengal.

“Pokoknya aku harus meminta ayah untuk pindah dari rumah ini, ya, hari ini juga harus pindah,” aku berjalan terhuyung menuju kamar, dan baru aku sadari bahwa hari sudah pagi. Bisa aku rasakan sinar matahari yang masuk dari jendela yang menghangatkan tubuhku.

“Raraaa!” tiba-tiba ibu berteriak histeris. Mungkin ibu panik karena tak menemukanku ada di kamar.
“Iya bu,” aku berlari-lari kecil menuju kamar. Kulihat ayah dan Rama juga ada di kamarku
“Pagi bu, selamat pagi. Bu, Ayah, Rama maaf semalam aku pergi ke gudang dan tidak bilang.”
“Rara, kenapa kamu tinggalin ibu nak?”
“Aku sudah kembali kok Bu.” Aku berteriak. Tetapi mereka tetap saja menangis.
“Apa mungkin tidak dengar suaraku ya?”

Ketika aku masuk kamar. Aku melihat ayah dan Rama menangis terisak-isak sambil berpelukan di samping almari bajuku.

“Ayah? Rama? Aku sudah pulang. Udah dong nangisnya,” tetapi mereka tak melihat sedikit pun ke arahku, malah melihat ke arah tempat tidurku.
“Kalian kenapa sih? Nangisin apa? “ aku mulai sebal.
Aku mengikuti pandangan ayah dan Rama. Aku terpekik ketika melihat ibu menangis tersedu mencoba untuk membangunkanku yang terbaring kaku di atas tempat tidur.
Aku mendekati Ibu. “Oh..ngak mungkin. Itu bukan aku. Aku masih hidup. Ibu..Ibu bisa denger aku kan? Aku masih hidup Bu. Itu bukan aku!!”

Aku mulai menitikan air mata, belum percya bahwa itu adalah mayatku. Aku bisa melihat dengan jelas mayat itu sudah kaku, dingin, pucat, dan terdapat luka di dahi.

“Kamu memang sudah mati Rara. Terima sajalah. Sekarang kamu jadi temanku di sini.”
“Sisi?”
“Ha..ha..ha..gak usah cengeng.”
“Aku belum mati!”
“Inget ngak waktu di lorong? Waktu aku mencekik dan membenturkanmu ke tembok? Saat itu juga kamu langsung mati dan ayah kamu menemukan mayatmu ketika mau mengambil sekop dan menggotongmu ke sini. Ha..ha..ha..”
“Jadi aku benar-benar sudah mati?” Rumah baru sekaligus menjadi tempat terakhirku hidup bersama ayah, ibu dan Rama.

Rumah yang penuh kepalsuan mencari nyawa untuk dijadikan teman. Tetapi kenapa harus Aku. Kenapa? Rumah ini munafik..terlihat anggun tetapi penuh dendam.



***

Sejak keluargaku pergi dari rumah ini, tak ada lagi yang datang ke mari. Rumah ini kembali sepi. Hanya ada aku dan Sisi yang menjaga dan merawat rumah ini agar ada yang mau datang lagi. Karena kami kesepian, kami ingin mencari teman. Terutama aku yang menjadi penghuni baru rumah kuno ini.



Oleh : Siti Rahmawati
Baca selengkapnya »

Minggu, 05 Juni 2011

Hikayat Bayan Budiman

Khoja Mubarak seorang saudagar kaya di negeri yang bernama Ajam. Beliau mempunyai seorang anak yang bernama Khoja Maimun. Apabila cukup umurnya, Khoja Maimun telah dikahwinkan dengan Bibi Zainab.

Oleh kerana hampir kehabisan harta, Khoja Maimun bercadang untuk pergi belayar dan berniaga. Sebelum belayar, Khoja Maimun telah membeli dua ekor burung sebagai peneman isterinya sepeninggalan beliau pergi belayar. Seekor burung bayan dan seekor burung tiung. Apabila sampai masa hendak pergi belayar, Khoja Maimun berpesan kepada isterinya supaya sentiasa bermuafakat dengan burung-burung itu sebelum melakukan sesuatu perkara.

Sepeninggalan Khoja Maimun, Bibi Zainab yang tinggal sendiri berasa kesunyian. Semasa duduk termenung di tingkap, seorang putera raja lalu dihadapan rumahnya. Kedua-duanya saling berpandangan dan berbalas senyum.

Sejak hari itu Bibi Zainab telah jatuh berahi terhadap putera raja itu. Putera Raja itu juga telah jatuh cinta pada Bibi Zainab. Dengan perantaraan seorang perempuan tua, pertemuan antara mereka berdua telah dapat di atur.

Sebelum meninggalkan rumahnya, Bibi Zainab telah menyatakan hasratnya kepada burung tiung betina yang diharapnya akan lebih memahami perasaannya. Maka jawab tiung;
“ya, tuan yang kecil molek, siti yang baik rupa, pekerjaan apakah yang tuan hamba hendak kerjakan ini? Tiadakah tuan takut akan Allah subhanahu wataala dan tiadakah tuan malu akan Nabi Muhammad, maka tuan hendak mengerjakan maksiat lagi dilarangkan Allah Taala dan ditegahkan Rasulullah s.a.w. Istimewanya pula sangat kejahatan, dan tiada wajib atas segala perempuan membuat pekerjaan demikian itu. Tiadakah tuan mendengar di dalam al-Quran dan kitab hadis Nabi, maka barangsiapa perempuan yang menduakan suaminya, bahawa sesungguhnya disulakan oleh malaikat di dalam neraka jahanam seribu tahun lamanya…”

Teguran burung tiung betina itu membuatkan Bibi zainab marah lalu dihempaskan burung itu ke bumi. Matilah burung itu.

Bibi Zainab setertusnya meminta nasihat daripada burung bayan pula sambil mencurahkan hasrat hatinya itu. Setelah mendengar semuanya, burung bayan pun berkata;
“Adapun hamba ini haraplah tuan, jikalau jahat sekalipun pekerjaan tuan, insyaAllah di atas kepala hambalah menanggungnya, jika datang suami tuan pun, tiada mengapa, daripada hamba inipun hendak membuat bakti kepada tuan dan berbuat muka pada suami tuan itu. Baiklah tuan segera pergi, kalau-kalau lamalah anak raja itu menantikan tuan, kerana ia hendak bertemu dengan tuan. apatah dicari oleh segala manusia di dalam dunia ini, melainkan martabat, kebesaran dan kekayaan?Adakah yang lebih daripada martabat anakj raja? tetapi dengan ikhtiar juga sempurnalah adanya. Adapun akan hamba tuan ini adalah seperti hikayat seekor unggas bayn yang dicabut bulunya oleh seorang isteri saudagar….“

Burung Bayan tidak melarang malah dia menyuruh Bibi Zainab meneruskan rancangannya itu, tetapi dia berjaya menarik perhatian serta melalaikan Bibi Zainab dengan cerita-ceritanya. Bibi Zainab terpaksa menangguh dari satu malam ke satu malam pertemuannya dengan putera raja. begitulah seterunya sehingga Khoja Maimun pulang dari pelayarannya.

Bayan yang bijak bukan sahaja dapat menyelamatkan nyawanya tetapi juga dapat menyekat isteri tuannya daripada menjadi isteri yang curang. Dia juga dapat menjaga nama baik tuannya serta menyelamatkan rumahtangga tuannya.
Baca selengkapnya »

Aku Pun Tak Mau Tahu

Ketika semua ucap dan perintah tak lagi diacuhkan
Bualanku kosong anggapan angin lalu
Indera pun tlah rapat tak bercelah
Berpaling bagai binatang bertanduk yang pasrah

Aku pun muak dan ingin berontak padanya
Merobek, membungkam, dan meredam omelannya
Lelah ku berjalan terkadang ku ingin berhenti
Tetapi ku mencintainya hingga ku trus berjalan
Sampai detik ini, sampai menit ini, sampai jam ini, sampai hari ini
Tapi ku tak tahu esok

Dengarlah tulisanku ini merintih
Meminta kau tuk diam! Sejenak, sesaat saja
Kebisingan ini yang membuatku lelah dan ingin pasrah

Aku pun tak mau tahu
Karna ku tlah memberi tahu
Aku pun tak mau tahu
Karna kau tak mau tahu
Aku pun tak mau tahu
Karna ku tlah lelah memberi tahu


Candra Handoko
Baca selengkapnya »

 
Powered by Blogger