Selasa, 13 November 2012

Berharap Engkau

Aku sudah menjalani 23 hari dan 8 jam tanpa memandang engkau yang tak dapat kusebut namanya biarpun dengan “sebut saja.” Selama itu pula perasaanku semakin kuat dan ingatanku semakin tajam akan semua tentang dirinya. Bersemayam dalam kalbu yang saya sendiri tidak mengetahui secara pasti awalnya, dan semakin tak tahu pasti kapan berakhirnya.
Aku tahu cerita tanpa kata cinta ini telah berakhir lama dan sebelum berakhir sebenarnya saya sudah mengetahui muara happy ending atau sad ending stories. Ya, cerita ini berakhir sad ending alias akhir yang menyedihkan, tetapi sebenarnya belum dapat dikatakan seutuhnya ini adalah akhir yang sedih, karena ternyata sutradara kehidupan telah menyiapkan episode-episode yang lebih berwarna.
Berwarna karena dalam hatinya tersimpan kata “mungkin” yang memang tak terucap kepadaku yang artinya adalah penuh kebimbangan. Mungkin adalah sebuah harapan yang dapat saya katakan 40 persen sebuah kabar positif untukku. Dalam benak pikirku yang terdalam sebenarnya kata “mungkin” itu sudah menjadi harga mati akhirnya berubah menjadi kata “tidak.” Ini adalah sebuah kemungkinan realistis karena saya bertimbangkan atas beberapa faktor, mulai dari faktor psikologis diri, sosial, dan juga spiritual diri saya sendiri. Semua faktor mengatakan bahwa ini adalah sebuah harapan yang hampir dapat dikatakan imposible.
Dapat dikatakan bahwa ini adalah pernyataan pesimistis dari seorang “Bulan yang Perkasa”. Aku sadar diri karena aku bukanlah seorang yang sungguh-sungguh dalam mengejar cinta atau serius dalam berusaha menarik hatinya. Harapan yang lebih atas suatu usaha yang tidak lebih akhirnya hanya akan mendapatkan sebuah kekecewaan semata. Aku tak tahu bagaimana mungkin kalimat bercetak miring itu muncul dalam benakku.
Hanya hatiku yang selalu menyebut namanya setiap pagi hari kerja saya memandangnya, dulu. Suara hati mana mungkin ada yang tahu kalau bukan dirinya sendiri. Sebenarnya mataku juga sengan sigap berlagak seperti maling yang selalu jelalatan untuk menemukan mangsa atau menemukan ketenangan memastikan bahwa tidak ada orang yang mengetahuinya. Persis seperti itu mataku menjadi maling ketika secara sembunyi-sembunyi mencuri wajahnya dari bali buku yang saya baca atau dari balik kaca jendela di kantorku yang terkadang sedikit terhalang oleh tralis-tralis besi. Sementara pikiranku selalu berusaha menangkap setiap moment yang ditangkap mata untuk membungkus secara rapi dan memasukkan file-file tentang dirinya dalam map-map yang kusimpan di tempat paling rapat dalam neuro-neuron otakku. Adapun alat gerakku hanya diam tak bergeming akan semua organ dalam yang telah berteriak-teriak menyebut-nyebut namanya. Seolah alat gerakku telah terpatri dengan ketakutan yang ternyata telah menguasai pikiranku dan pikiranku itu terus saja memberikan kemungkinan-kemungkinan negatif ketika diriku akan menampakkan diri di hadapannya.
Semua itu adalah ulasan masa laluku sebelum adanya kata “mungkin.”
Aku tak tahu secara pasti ke mana dia berlari karena pandangan telah tertelan oleh jarak yang sungguh kejam. Aku juga tak tahu bagaimana keadaannya secara pasti karena waktu sialan yang telah mendesakku hingga ketika dua bibirku masih melekat dia pergi tak memberi kabar secara jelas. Aku sadar aku tak sepenuhnya harus menyalahkan jarak dan waktu karena mereka berdualah yang telah meyakinkanku bahwa cinta itu tak terpengaruh oleh jauhnya jarak kita atau lama waktu tidak bertemu atau selisih umur kita. Jika semua itu rasa cinta masih bersemayam atau bahkan lebih kuat, kurasa itu adalah cinta sejati. Semua yang kurasakan ternyata sedikit menyadakanku banwa ini adalah cinta sejati. Aku akan menunggu berjibaku dengan waktu dan juga berusaha untuk mempersempit jarak yang ada di antara kita, biarpun aku tahu ...
Cinta tidaklah selamanya harus bersikap egoistis terhadap dirinya sendiri atau yang dicintai, begitu juga dengan saya. Saya tidakan akan menunggu selamnya jika seseorang yang aku tunggu ternyata tak mengindahkan kesediaanku untuk menunggu. Tidaklah cinta bertepuk sebelah tangan yang sangat menyakitkan hati, tetapi ketika seseorang yang kita cintai tak lagi mengindahkan atau memperdulikan kita sedikitpun.
...

Semua paragraf ini untuk dia yang pandangnya telah jauh dariku. Aku hanya memiliki harapan kosong untuk mengakhiri tulisan ini dengan indah.
Kab.Semarang, 12 November 2012
Baca selengkapnya »

 
Powered by Blogger