Senin, 01 April 2013

Kan Ada Remidi

Evaluasi adalah suatu proses atau kegiatan yang berkelanjutan untuk menentukan kualitas (nilai dan arti) sesuatu berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu. Untuk mengetahui kualitas tersebut digunakan suatu alat yaitu berupa tes atau dalam dunia pembelajaran sering disebut dengan ulangan. Tes dalam pembelajaran dilakukan secara berkala yang diantaranya berupa ulangan harian, ulangan tengah semester, dan ulangan akhir semester.

Dalam pelaksanaan kurikulum saat ini yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menerapkan sistem pembelajaran tuntas. Itu artinya setiap Kompetensi Dasar (KD) harus mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan berdasarkan intake, daya dukung, dan kompleksitas KD. Secara wajar tentu saja terdapat beberapa siswa yang tidak dapat memenuhi KKM yang telah ditetapkan. Oleh karena itu ada sebuah cara yang harus dilakukan yaitu dengan mengadakan remidial pembelajaran. Kalau dalam bahasa kuliahan dulu pernah ada yang namanya Semester Pendek (SP).

Adanya remidial seolah memberikan nafas lega terhadap siswa-siswa yang masih mengalami ketidaktuntasan KD pada setiap mata pelajaran. Remidial dilakukan dengan cara mengadakan pembelajaran kembali berdasarkan kelemahan yang dialami siswa. Untuk mengetahui kelemahan KD pada setiap siswa dengan cara mengadakan analisis hasil ulangan. Setelah mengetahui kelemahannya, guru mengadakan pembelajaran ulang.

Mengadakan pembelajaran remidial sangat jarang dilakukan oleh guru walaupun ada beberapa siswa yang belum memenuhi KKM. Hal itu biasanya guru memberikan alasan karena sudah terlalu banyak tugas dengan berbagai administrasi pembelajaran. Selain itu para guru berpikir pembelajaran remidial membutuhkan waktu ekstra. Bila pembelajaran remidial dilakukan pada waktu reguler akan mengurangi cakupan materi yang dibahas. Sehingga tak jarang ditemukan guru yang hanya memberikan soal tes yang sudah digunakan untuk dikerjakan ulang. Mengerjakannya pun di rumah digunakan sebagai pekerjaan rumah (PR). Siswa yang sudah mengerjakan soal dengan serta merta dianggap memenuhi KKM. Hal itu dilakukan dengan dalaih agar tidak menyita waktu pembelajaran bagi siswa-siswa yang sudah tuntas belajar.

Fenomena memberikan remidial dengan menyuruh siswa mengerjakan soal tes yang telah dikerjakan akhirnya dijadikan kebiasaan. Situasi yang demikian dimanfaatkan dengan baik oleh siswa-siswa yang tidak mempunyai daya saing kuat dalam mengejar prestasi sehingga mereka cenderung meremehkan soal tes ulangan, baik ulangan harian, ulangan tengah semester, maupun ulangan akhir semester. Misalnya, waktu yang mengerjakan soal diberikan 90 menit, akhirnya dalam pikiran mereka mengandalkan remidial dan mereka berpikir, “Santai, kan ada remidial. Paling juga ikut remidial dianggap tuntas.” Anggapan semacam itu mengarahkan siswa mudah putus asa dalam mengerjakan soal sehingga mereka pasrah mengerjakan soal dengan tidak sungguh-sungguh dan 60 menit keluar. Kondisi semacam ini juga menimbulkan keraguan terhadap kualitas belajar siswa baik di sekolah ataupun di rumah.

Kondisi semacam ini harus segera diubah agar mindset siswa remdial pasti mengerjakan soal lebih mudah dan pasti tuntas berubah. Hal yang harus dilakukan adalah dengan memberikan remidial yang berbobot sama sehingga tujuan remidial dapat tercapai. Guru harus lebih rajin lagi dalam melakukan pembelajaran remidial, misalnya beberapa menit dalam waktu reguler dan memberikan tugas yang berbobot dan berkaitan dengan pembelajaran remidial. Guru tidak serta-merta menuntaskan siswa yang sudah ikut remidial sehingga guru juga dituntut untuk mengoreksi dengan sungguh-sungguh tes remidial yang dilakukan.

“Kan tidak masuk UN, Pak.”
Kalimat di atas pernah terlontar dari mulut siswa saat tes mata pelajaran non Ujian Nasional. Berdasarkan kalimat tersebut dapat dianalisis bahwa dengan adanya ujian nasional siswa memiliki kecenderungan mengabaikan mata pelajaran non UN. Mata pelajaran non UN dianggap kurang penting oleh beberapa siswa sehingga ketika mata pelajaran tersebut digunakan untuk tes, siswa mengabaikan. Siswa menganggap mata pelajaran non UN tidak menentukan kelulusan.

Memang tidak dapat dipungkiri lagi bahwa anggapan tersebut sudah menjadi anggapan umum siswa-siswa. Anggapan demikian ada karena siswa sudah terlalu terbebani dengan berbagai tes yang dilakukan oleh sekolah baik itu tryout yang dilakukan berkali-kali, Ulangan Tengah Semester, dan Ujian Sekolah. Tak pelak siswa sudah mengalami kejenuhan dengan semua tes dan pemadatan materi yang dilakukan. Hal itu diperparah dengan sikap guru yang terkadang seolah memarginalkan mapel non UN dengan menambah jam pelajaran UN dan mengurangi jam pelajaran non UN. Sikap demikian dilakukan semata-mata agar siswa-siswanya dapat lulus seratus persen dalam UN.

Mata pelajaran non UN untuk kelas dua belas seolah-olah tidak mempunyai taji dalam hal kelulusan siswa. Hal tersebut tentu tidak hanya tes mapel tersebut yang tidak dianggap penting tetapi dalam proses pembelajarannya pun siswa akan mengganngap tidak penting. Hal yang demikian membuat kualitas pembelajaran dan tingkat ketuntasan pembelajarannya rendah. Jalan terakhir yang dilakukan jika demikian guru terpaksa “mengatrol” nilai tes, biarpun itu nilai ujian sekolah.

Fenomena siswa menganggap kurang pentingnya mapel non UN ini merupakan salah satu mengapa UN yang hanya mengeteskan beberapa mapel banyak yang tidak setuju. Sementara itu, jika semua mapel diteskan dalam UN siswa akan semakin terbebani. Permasalahan mengenai UN ini memang selalu muncul setiap tahun menjelang UN dilaksanakan.

Hal yang harus dilakukan agar siswa tidak menganggap enteng tes mapel non UN salah satunya menyadarkan kepada siswa bahwa semua mapel itu memiliki manfaat yang baik. Tes yang dilakukan untuk mapel non UN yang digunakan untuk penilaian Ujian Sekolah nilainya benar-benar murni. Hal ini dilakukan agar generasi kelas dua belas berikutnya dapat mengambil pelajaran yang berharga dari generasi sebelumnya tentang penilaian objektif setiap mapel. Pemerintah harus selalu mengkaji kebijakan tentang UN agar tidak selalu menimbulkan pro dan kontra. Guru sudah jenuh dengan kebijakan UN yang membuat “deg-degan” dan siswa juga sering senam jantung dengan adanya UN.

Boyolali, 31 Maret 2013
Baca selengkapnya »

 
Powered by Blogger