Profil


CANDRA Handoko, seorang sosok yang penuh dengan kesederhanaan di dalam kehidupannya. Dia tidak memandang keglamoran sebagai bagian dari dirinya karena kesederhanaan telah menjadi prinsip hidupnya. Kesederhanaan dalam berpakaian, bersikap, ataupun dalam bertindak.

Laki-laki kelahiran kota susu (Kabupaten Boyolali) dari pasangan suami-istri Wisnu Budoyo dan Sumintir pada 6 Desember 1987 ini mempunyai latar belakang pendidikan agama Islam yang cukup kuat. Dia lulus dari Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Boyolali pada tahun 2000, setelah itu meluluskan studinya di MTsN Boyolali pada tahun 2003. Tidak puas dengan pendidikan Islamnya, ia melanjutkan pendidikannya di MAN 1 Boyolali dan lulus pada tahun 2006.

Untuk mengejar cita-citanya menjadi guru yang professional maka ia melanjutkan pendidikannya di Universitas Negeri Semarang. Ia kuliah di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa aktif semester enam program pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Rasa cintanya terhadap bahasa Indonesia tumbuh karena rasa keprihatinan dirinya terhadap perkembangan bahasa Indonesia yang kurang diperhatikan dan juga karena penggunaan bahasa Indonesia saat ini yang semakin banyak tercampur dengan bahasa-bahasa gaul anak-anak muda. Ia ingin menjadi guru yang baik, karena ia merasa prihatin terhadap kualitas pendidikan di Indonesia yang masih sangat tertinggal dibanding dengan negara-negara tetangga. Ia memandang sosok guru sebagai profesi yang sangat mulia. Profesi yang mampu menjadikan orang yang awalnya tidak tahu apa-apa menjadi orang yang penuh dengan ilmu dan pengalaman. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, dan merupakan amalan jariyah atau amalan yang tidak akan terputus pahalanya walaupun telah meninggal dunia.

Ternyata rasa cintanya terhadap bahasa Indonesia juga diimbangi dengan raca cintanya terhadap bidang sastra. Laki-laki ini pernah menyusun antologi sastra yang berjudul “Hitam, Gelap”, yang kesemuannya isinya berhubungan dengan kehidupannya, baik itu masalah sosial, budaya, dan asmara.

Selama menjadi pelajar MAN 1 Boyolali, ia cukup aktif dalam kegiatan Tapak Suci dan Pramuka. Tetapi sayang, keaktifan dalam berbagai kegiatan di sekolah tidak dilanjutkan saat kuliah. Kesehariannya di Semarang kini hanya diisi dengan kuliah dan berkumpul dengan teman-temannya di kamar kost.

Anak terakhir dari empat bersaudara yang menyukai film-film aksi ini mempunyai kulit sawo matang, dan bertubuh kurus dengan tinggi sekitar 168 cm. Dengan fisik yang seperti itu tidak menyurutkan niatnya untuk mewujudkan kegemarannya. Ia mempunyai kegemaran yang cukup menantang yaitu mendaki gunung. Hobi ini terkait dengan peristiwa yang tragis sewaktu mendaki gunung Merbabu. Dia pernah tersesat selama satu hari karena kebodohannya sendiri.

Masalah asmara lelaki sagitarius ini tidak begitu mulus. Kata “gagal” itulah sepertinya yang selalu melekat di pundaknya. Cinta yang diburu dari SD sampai SMA tidak pernah tersampaikan. Pernah dia menyukai wanita di kampusnya bahkan satu jurusannya, tetapi sayang cinta belum berpihak padanya. Dia menyadari bahwa terdapat cinta yang lebih tulus dari seseorang, yaitu dari ibu, bapak, dan kakak-kakaknya. Keluarga yang selalu mendukung pendidikannya hingga saat ini walaupun dalam kondisi ekonomi yang cukup-cukupan. Tetapi sayang, dari MAN kelas dua hingga saat ini ayah yang diharapkan untuk membantu membiayai sekolahnya hanya dapat terbaring di ranjangnya, sehingga hanya ibunyalah yang bekerja membiayai kuliahnya dari hasil pertaniannya. Dia menganggap ibunya sebagai pahlawan sejatinya, dan membahagiakan keluarga adalah keinginan terbesarnya. (*)

 
Powered by Blogger