Jumat, 10 Juni 2011

Penghuni Rumah Kuno

Hari ini hari pertama aku dan keluargaku menempati rumah baru, yang sebenarnya adalah rumah tua yang mirip seperti bangunan model rumah kuno, bahkan segala segala macam isinya pun merupakan peninggalan zaman kuno. Kami hanya bawa sedikit barang dari tempat tinggal yang dulu karena kata ayah, di rumah yang baru sudah tersedia perabot rumah lengkap. Rumah model kuno ini memiliki halaman yang luas di depan maupun di belakang yang di tumbuhi rumput-rumput lebat. Pohon-pohon berumuran puluhan tahun pun ikut menghiasi rumah kuno ini. Tumbuh menjulang dengan akar-akar besar yang muncul di permukaan tanah. Cat dinding rumah ini sudah mulai mengelupas. Lantainya pun tertutup oleh debu. Benar-benar sudah lama tak terawat.

Semua bermula saat Ayah dipindahtugaskan untuk dinas di kota ini. Terpaksa ibu, aku, dan Rama adik laki-lakiku ikut pindah juga.

Ah….capek rasanya setelah seharian membereskan kamarku. Aku lihat jam di atas meja belajarku. Waktu menunjukan pukul 23.30 WIB. Rumah sudah sepi bahkan bunyi televisi yang beberapa waktu lalu terdengar sekarang tak terdengar lagi. Mungkin semua sudah tidur di kamar masing-masing.

“Kenapa aku tidak bisa tidur juga?“ aku bergumam sendiri sambil membalikan tubuhku menatap jendela. Udara malam semakin dingin. Aku menaikan selimut sampai ke leher. Baru saja mata terpejam tiba-tiba aku terbangun kembali mendengar suara ketukan pintu kamarku. Perlahan aku beranjak dari tempat tidur, berjalan sedikit terhuyung karena belum sepenuhnya tersadar dari kantukku. Sekilas aku melirik jam di meja belajarku yang menunjukkan pukul 00.00WIB.

“Siapa?“ suaraku sedikit serak. Tak ada jawaban. Perlahan kubuka pintu tua itu yang menimbulkan suara gemeretak. Di luar tak ada siapa-siapa .

“Aneh, lalu tadi siapa?“ ketika pintunya aku tutup, tiba-tiba sekelebat bayangan hitam melewati depan pintu kamarku. Aku berjingkat ke luar untuk melihat siapa yang ada di luar.

“Siapa ya? Hei tunggu!” langkahnya malah semakin cepat
“Duh ke mana sih? Kok ngilang?“ tiba-tiba aku mendengar suara pintu dibuka, bayangan tadi masuk ke ruangan itu. Di ujung dapur ada sebuah pintu. Aku belum begitu tau tentang ruangan-ruangan di rumah ini, mungkin itu adalah sebuah gudang.

Perlahan kubuka pintu itu. Ternyata ada sebuah lorong. Di sana gelap, tak ada cahaya. Aku berjalan dengan hati-hati, berusaha supaya tak menabrak sesuatu. Aku meraba-raba dinding, barang kali ada saklar di sekitar sini. Hasilnya nihil, tetapi mataku mulai terbiasa dengan gelap. Walaupun tak sepenuhnya bisa melihat dengan jelas, paling tidak aku bisa melihat keadaan di sekitarku dalam remang-remang.

“Rara…..” aku tersentak ketika mendengar namaku dipanggil dan menyadari itu bukan suara Rama, ayah, ataupun ibu.

“S..sss..ssiapa?“ bulu kudukku mulai berdiri. Udara di sini tiba-tiba menjadi dingin. Kaca-kaca bergetar dan tikut-tikus menjadi ribut bercicit-cicit seolah-olah ada suatu bahaya yang datang.

“Jangan-jangan itu……” aku tak melanjutkan kata-kata ketika kudengar suara berdebum di belakangku.

Aku berbalik menghadap pintu. Hanya berjarak beberapa meter di depanku berdiri sesosok gadis cantik yang sangat familiar. Gadis itu sebaya denganku. Sulit dipercaya, mungkin ini hanya mimpi. Tapi itu benar-benar nyata. Dia benar-benar mirip denganku. Rambut ikalnya, tingginya, bahkan wajahnya. Hanya saja dia terlihat pucat. Dia mengenakan gaun panjang warna putih seperti jubah. Rambut hitam panjang, kulit pucat dipadukan dengan gaun putih memang menyeramkan bila di bayangkan.

Kurasakan keringat dingin bercucuran didahiku. Ya. Aku ketakutan. Aku berusaha untuk berlari, tapi tak bisa. Seperti ada yang mengunci kakiku.

Tiba- tiba kurasakan sentuhan dingin di leherku. Kencang dan semakin kencang. Ada yang mencekikku. Kerongkonganku mulai mengering. Aku tak bisa berteriak.

“T..tt..toolongg!!” suaraku tak cukup didengar oleh orang lain. Tiba-tiba tangan itu membenturkan aku ke tembok. Lagi…lagi…dan lagi…hingga bisa kurasakan darah segar mengalir di keningku. Sementara aku kesakitan, gadis itu tertawa. Tawanya menggelegar memekakkan telinga. Aku mulai kehabisan oksigen. Dan akhirnya aku mencoba untuk memejamkan mata.

Sekarang hening. Tawa itu sudah tak ada. Nafasku pun kembali normal, bahkan aku sudah tidak merasakan sakit lagi. Pelan-pelan aku membuka mata, mengamati sekeliling yang masih gelap. Dia ada di sebelahku.

“Hai, Jangan takut. Aku hanya ingin menjadi teman.”
“Sssiapa kamu?”
“Aku seorang teman, nama kamu Rara kan?”
“Tau dari mana?”
“Ha..ha..ha..tentu aku tahu setiap penghuni rumah ini. Bukankah aku pemilik rumah ini?”
“Tetapi bukankah kata Ayah pemilik rumah ini sudah pindah?”
“Ya, memang. Mereka sudah pindah tetapi aku ditinggal sendiri di sini.”
“Mereka? Ayah dan ibumu?”
“Oh bukan, tapi ibu dan saudara tiriku.”
“Lalu orang tua kandungmu ke mana?”
“Ibuku meninggal ketika aku berumur tujuh tahun, dan lima tahun setelah itu ayah menikah lagi dengan seorang janda beranak satu. Tentu saja mereka jahat kepadaku. Mereka selalu menyiksaku ketika ayah kerja dan berpura-pura baik ketika ayah di rumah.”
“Lalu di mana ayahmu?”
“Waktu itu ayah memergoki ketika aku disiksa, dan….”
“Dan apa?”
“Dan mereka membunuh ayahku.”
“Oh, kejam sekali. Apa kamu tidak melapor ke polisi?”
“Setelah kematian ayahku mereka mengunciku di sini, tentu saja aku tidak bisa ke mana dan mereka menjual rumah ini.”
“Lalu bagaimana kau bisa keluar? Siapa yang menolongmu?” Dia tak menjawab pertanyaanku. Malah tersenyum lebar menyeringai.
“Ayo ikut aku.”
“Ke mana?”
“Akan aku tunjukkan sesuatu.”

Dia mengajakku menelusuri sepanjang lorong. Aku mengikutinya dari belakang. Tapi anehnya sekarang aku tidak punya rasa takut, malah bersemangat dengan apa yang ditunjukkannya padaku. Dia membawaku ke sebuah ruangan kecil. Di sana ada sebuah perapian. Di sudut ruangan terdapat banyak tumpukan kardus bekas. Dan di pojok sana ada sebuah kursi goyang. Dia menunjukkan lukisan-lukisan yang terpajang di dindng, memperlihatkan foto ayah dan ibu kandungnya.

“Silahkan, duduklah!” dia mempersilahkanku duduk di samping kursi goyangnya dan aku merasa nyaman dengan keramahannya.
“Terima kasih”
“Ha..ha..ha..” baru saja aku berpikir dia orang yang baik, dia malah kembali tertawa seperti waktu di lorong tadi. Aku kembali ketakutan.
“Apanya yang lucu?” aku bertanya, berusaha bersikap polos dan tidak memperlihatkan kegugupanku.
“Di tempat ini aku mati.”
“Mm…m..maksudnya?”

Dia mengalihkan pandangan ke sudut ruangan dan aku mengukuti arah matanya. Astaga itu adalah tulang belulang manusia dan ada sebuah boneka di sampingnya.

“ Aaa…apa itu?”
Dia melirikku dan menatapku dengan tatapan ingin membunuh. Aku tak berani untuk melihat wajahnya. Maka kulihat saja tulang-tulang itu.
“Itu aku, Rara. Mereka mengurungku sampai mati.”
“Kamu?”
“Ya, aku memang hantu. Dan sekarang aku tak sendiri lagi. Aku sudah mendapatkanmu teman. Tinggalah bersamaku di sini.”
“Enggak, aku mau pergi. Aku akan minta ayah untuk pergi dari rumah ini malam ini juga.”
“Ha..ha..ha..”
Dia kembali tertawa, dan membuat kaca bergetar. Aku benar-benar ketakutan. Aku ingin berdiri tapi tak bisa. Tiba-tiba sekujur tubuhku menjadi kaku. Aku tidak bisa apa-apa, kucoba untuk membaca doa sebisaku.

Oh Tuhan dia berubah menjadi hantu, seperti monster. Dia menyeramkan. Dia tak lagi terlihat cantik seperti tadi. Darah-darah mulai bercucuran dari mata, hidung, dan telinganya. Kulitnya mengelupas bau busuk pun menyengat. Tawanya semakin menggelegar. Aku menjerit.

“ Tidaaaaaaaaaaaaak!!!”

Tubuhku mulai meregang. Yah…sekarang aku bisa lari. Aku tak buang-buang waktu berusaha lari sekencang mungkin. Tawanya masih terdengar di lorong. Telingaku sakit berdenging, pintu keluar sudah terlihat. Aku hanya tinggal lari beberapa langkah dan aku akan selamat. Ya…setidaknya itu harapanku.

Aku meraskan tubuhku berguncang ketika akhirnya sampai di pintu. Kukunci pintu itu rapat-rapat. Aku merasakan lega yang sangat dahsyat. Jantungku masih terpacu sangat cepat dan nafasku tersengal-sengal.

“Pokoknya aku harus meminta ayah untuk pindah dari rumah ini, ya, hari ini juga harus pindah,” aku berjalan terhuyung menuju kamar, dan baru aku sadari bahwa hari sudah pagi. Bisa aku rasakan sinar matahari yang masuk dari jendela yang menghangatkan tubuhku.

“Raraaa!” tiba-tiba ibu berteriak histeris. Mungkin ibu panik karena tak menemukanku ada di kamar.
“Iya bu,” aku berlari-lari kecil menuju kamar. Kulihat ayah dan Rama juga ada di kamarku
“Pagi bu, selamat pagi. Bu, Ayah, Rama maaf semalam aku pergi ke gudang dan tidak bilang.”
“Rara, kenapa kamu tinggalin ibu nak?”
“Aku sudah kembali kok Bu.” Aku berteriak. Tetapi mereka tetap saja menangis.
“Apa mungkin tidak dengar suaraku ya?”

Ketika aku masuk kamar. Aku melihat ayah dan Rama menangis terisak-isak sambil berpelukan di samping almari bajuku.

“Ayah? Rama? Aku sudah pulang. Udah dong nangisnya,” tetapi mereka tak melihat sedikit pun ke arahku, malah melihat ke arah tempat tidurku.
“Kalian kenapa sih? Nangisin apa? “ aku mulai sebal.
Aku mengikuti pandangan ayah dan Rama. Aku terpekik ketika melihat ibu menangis tersedu mencoba untuk membangunkanku yang terbaring kaku di atas tempat tidur.
Aku mendekati Ibu. “Oh..ngak mungkin. Itu bukan aku. Aku masih hidup. Ibu..Ibu bisa denger aku kan? Aku masih hidup Bu. Itu bukan aku!!”

Aku mulai menitikan air mata, belum percya bahwa itu adalah mayatku. Aku bisa melihat dengan jelas mayat itu sudah kaku, dingin, pucat, dan terdapat luka di dahi.

“Kamu memang sudah mati Rara. Terima sajalah. Sekarang kamu jadi temanku di sini.”
“Sisi?”
“Ha..ha..ha..gak usah cengeng.”
“Aku belum mati!”
“Inget ngak waktu di lorong? Waktu aku mencekik dan membenturkanmu ke tembok? Saat itu juga kamu langsung mati dan ayah kamu menemukan mayatmu ketika mau mengambil sekop dan menggotongmu ke sini. Ha..ha..ha..”
“Jadi aku benar-benar sudah mati?” Rumah baru sekaligus menjadi tempat terakhirku hidup bersama ayah, ibu dan Rama.

Rumah yang penuh kepalsuan mencari nyawa untuk dijadikan teman. Tetapi kenapa harus Aku. Kenapa? Rumah ini munafik..terlihat anggun tetapi penuh dendam.



***

Sejak keluargaku pergi dari rumah ini, tak ada lagi yang datang ke mari. Rumah ini kembali sepi. Hanya ada aku dan Sisi yang menjaga dan merawat rumah ini agar ada yang mau datang lagi. Karena kami kesepian, kami ingin mencari teman. Terutama aku yang menjadi penghuni baru rumah kuno ini.



Oleh : Siti Rahmawati

0 komentar:

Posting Komentar

 
Powered by Blogger